Sabtu, 30 Mei 2020

New Normal

Persiapan New Normal

upacara bendera saat pandemi belum terjadi

Hari ini saya mendapat surat pemberitahuan melalui WA grup kelas dari madrasah tempat anak saya sekolah. Isi surat pemberitahuan itu adalah tentang mulai masuknya siswa ke sekolah, tentunya dengan menggunakan moda daring, seperti yang dianjurkan pemerintah. 

Begitu membaca kata masuk sekolah, sentak para wali menjadi ramai memperbincangkannya di grup kelas. Ada yang mengatakan takut mengalami masa-masa sekolah karena pandemi virus yang belum juga berakhir, bahkan ada yang menulis bayangan-bayangan negatif jika anaknya sudah masuk sekolah nanti. 

Ada pula yang mengatakan kebetulan, karena anak-anak juga sudah bosan tinggal di rumah terus. Termasuk orang tuanya, mungkin. Tidak sedikit orang tua yang mulai jenuh mendampingi anaknya sekolah di rumah, sementara mereka juga masih harus bekerja.

Di tengah ramainya WA grup, ada yang nyeletuk, "ini masih dengan sistem daring, ibu-ibu." Akhirnya merekapun tertawa, tentu secara online pula tertawanya. 

New Normal yang rencananya akan mulai diterapkan, ternyata masih belum mendapatkan dukungan, meski yang saya sebutkan di sini masih di grup WA anak saya. tetapi mungkin ini mewakili grup-grup WA di sekolah-sekolah yang lain. 

Menurut saya, untuk menuju ke new normal, tidak hanya sistem sekolah saja yang dipersiapkan. Orang tua juga perlu diberikan pengertian agar mereka memahami dan akhirnya merelakan anaknya untuk berangkat ke sekolah. Ketakutan mereka akan munculnya cluster baru penyebaran covid, juga patut dipertimbangkan oleh pihak-pihak yang berwenang. 

New Normal, kenormalan baru yang kita tunggu-tunggu, tentu yang diharapkan adalah adanya peningkatan keadaan yang lebih baik. Semoga menjadi new normal yang indah.

Jumat, 29 Mei 2020

Bu Guru masih di Rumah ?

Bu Guru Masih di Rumah ?

Pertanyaan itu mengawali pagi tadi ketika kami, aku, suami, dan anak-anakku, masih terlihat belum beraktivitas, padahal waktu sudah menujuk sektar pukul 08.00 WIB. 

Pagi ini, kebetulan suami bertugas di shift siang. Pukul 10.30 WIB rencana baru akan berangkat ke kantor. Suami bertugas di salah satu kantor kementerian pusat yang berkedudukan di kota kabupaten. Di kantornya memang tidak ada istilah WFH (Work from Home) seperti halnya guru. Sehingga hari-harinyapun seolah tidak terganggu oleh covid. Memang protokol kesehatan sangat ketat diterapkan di kantornya, bahkan sesampai di rumahpun, suami harus berhadapan dengan penegak protokol kesehatan di rumah, yaitu aku. Hm..Kulakukan itu sebagai ikhtiarku dalam menjaga dan melindungi keluarga ini agar tetap sehat dan kuat. 

Saat suami masuk siang, biasanya ingin bermalas-malasan dulu di rumah, seperti yang dilakukannya pagi tadi. Kami bercengkerama di depan rumah bersama anak-anak.
Tetangga sebelah rumah sedang memperbaiki atap rumahnya yang memang perlu diganti karena sudah lapuk termakan suhu. Dua orang tukang dipanggil utnuk membantu memperbaiki rumahnya. Tukang seperti ini di daerah kami memulai kerjanya sekitar pukul 08.00 WIB. Waktu yang sama saat aku dan suami  sedang berada di depan rumah sambil mengawasi putri kecil kami yang sedang bersepeda. 

Percakapan basi-basi antara kami dan pak tukangpun dimulai. Ketika pak tukang sudah memanjat atap rumah, dia bertanya kepada kami. 
"Pak, tidak ke kantor hari ini? "
Suamipun menjawab "Saya masuk siang nanti, Kang. (sapaan yang digunakan untuk pak tukang) Sebentar lagi juga persiapan ini. "  
"Oh, saya kira libur corona, Pak. " (tambah pak tukang sambil tertawa)
"Saya tidak kenal corona, Kang. Masuk seperti biasa saja. Ibunya tuh, yang agak mengenal corona." (jawab suami sambil tertawa pula dan melirik ke arah saya)

"Liburnya jadi lama ya, Bu. Bisa berkegiatan lain saat di rumah. " (lanjut pak tukang)

Pak tukang dan suami  adalah satu atau dua orang dari beberapa orang yang sudah mengucapkan hal serupa kepadaku. Mereka menganggap dalam masa seperti ini, gurulah yang paling nyaman. Bisa di rumah terus, gajipun tetap diterima. 
Bahkan ada yang secara blak-blakan mengatakan kepadaku, " enak ya jadi guru, ga perlu keluar uang bensin, tetap aman di rumah, tapi gaji juga utuh. "

Menjadi guru adalah hal yang dicita-citakan oleh orang tuaku sejak dulu. Sehingga ketika kuliahpun, aku dipilihkan jurusan keguruan. Ya, ibuku adalah seorang guru juga. tetapi beliau sudah purna tugas sekarang. Mungkin ibu merasa nyaman menjadi guru sehingga berkeinginan anaknya juga merasakan kenyamanan itu pula. 
Ketika ada yang mengucapkan kata-kata seperti itu, aku berusaha menjelaskan bahwa aku dan guru-guru yang lain, meskipun berada di rumah tetapi juga tetap bekerja dari rumah. Mungkin penjelasanku tdak bisa diterima oleh sebagian dari mereka. Bagiku tidak apa, yang penting aku sudah berusaha memberikan pengertian kepada mereka. 

Satu kata yang harus aku, dan kalau boleh semua guru, ucapkan adalah Alhamdulillah, sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan. Banyak bersyukur karena Tuhan memberikan kemudahan kepada kita untuk tetap di rumah, sementara sebagian yang lain harus berjuang untuk mempertahankan "hidup" keluarganya dengan bekerja di luar rumah. Aku tahu mereka juga sangat khawatir dengan keamanan kesehatan mereka. Tetapi perasaan itu semua diabaikan demi mencukupi kebutuhan keluarganya.

Menurutku, sangatlah tidak pas, ketika kita sebagai guru hanya berdiam diri di rumah, tidak membuat suatu perubahan peningkatan atas profesi kita. Berbicara tentang peningkatan guru, memang memiliki standar yang berbeda-beda. Yang terpenting adalah adanya niat dan usaha untuk berubah menjadi guru lebih baik. 

Teman guru kemarin mengajak untuk mengajukan usul kenaikan pangkat. Padahal sudah lama sekali beliau tidak mengajukan kenaikan pangkat. Mumpung WFH, katanya. Ini juga bisa dikatakan sebuah peningkatan.

Ada juga rekan guru yang mengikuti webinar ini dan itu. Padahal terbilang gaptek dalam hal online-online-an. Untuk menutrisi otak katanya. Ini juga merupakan sebuah peningkatan. 

Kita yang sudah sangat mengetahui kemampuan kita, yang terpenting adalah berusaha meningkat meski dengan standar peningkatan yang kita buat sendiri. Harapan besarnya tentu agar anak didik kita akan merasakan dampak peningkatan yang sedang kita lakukan. 



Meminta Tua

Meminta Tua

Menjadi tua adalah sebuah keniscayaan. Bagi sebagian orang, menjadi tua merupakan sebuah ketakutan. Terbayang olehnya masa-masa ketika dia selalu ingin ditemani, dilayani, dan dipenuhi kebutuhan-kebutuhannya diantara segala keterbatasan yang mulai merundungnya. 
Menjadi tua adalah "sesuatu" yang perlu dipersiapkan dengan matang. Masa mudanya hampir seluruhnya didedikasikan untuk sebuah masa tua. Persiapan itu terkadang  memang berlebihan. Bagaimana tidak? ketika masa tua belum datang, mereka sudah mengatakan kepada orang-orang terdekatnya tentang peraturan yang harus dilakukan untuk melayani dan memenuhi kebutuhan di masa tuanya. Cenderung mengatur urusan orang-orang terdekatnya agar semua berjalan di atas rel yang dibuatnya sendiri.  Pesan yang selalu digaungkan di telinga anak-anak tercintanya, "Nak, tidak perlulah kamu pergi merantau untuk meraih cita-citamu itu. Di sinipun kamu bisa mewujudkannya. Lihatlah di sekitarmu, banyak orang yang sukses.  Tidak semua orang yang pergi merantau bisa sukses dan ketika kamu merantau kamu tidak bisa mudik setiap saat." Kalimat terahir itulah yang rupanya akan didoktrinkan kepada anaknya. Mengapa ? jawabannya hanya satu, agar ketika dia mengalami masa tua nanti akan ada teman yang selalu berada di dekatnya. 

Bagaimana dengan guru tua ? 
Dalam istilah resmi negara tidak ada istilah guru tua. Pengertian yang sering beredar di masyarakat, guru tua adalah guru yang sudah berusia tua. Hal ini mungkin berlawanan dengan sistem yang terbangun di negara kita. Di negara kita, guru akan diberhentikan dengan hormat sebagai guru pemerintah, setelah berusia 60 tahun. Meskipun memang ada yang bisa lebih dari usia ini, dengan meminjam istilah marketingnya, syarat dan ketentuan berlaku. Guru akan menjalani masa pensiun sehingga secara resmi tidak lagi mengajar di sekolah. 
Kembali kepada istilah guru tua. Memangnya kenapa kalau usia kita sebagai guru menjadi tua? Toh masih disebut guru juga, masih aktif mengajar, dan masih belum pensiun. Menjadi guru berusia tua adalah sebuah keniscayaan, karena memang waktu yang terus berputar dan tidak bisa dihindari oleh siapapun. Menjadi guru berusia tua bukanlah alasan untuk tidak bisa menyesuaikan dengan perubahan dan perkembangan. 
Guru yang berusia tua, guru yang merasa sudah berusia tua, guru muda atau yang merasa berusia muda, pada saat ini dihadapkan pada tantangan yang sama. Disadari atau tidak, covid-lah yang menjadi penyebabnya. 
Sekarang kita sudah mengalami sebagian dari keniscayaan itu. Orang yang tidak bisa berubah maka dia akan tertinggal. Guru sering disebut sebagai agen perubahan. Maka sudah selayaknya guru juga harus berubah. Mengawali sebuah perubahan memang tidak mudah. Ketidakpercayaan pada kemampuan diri sendiri, merasa tidak ada yang membantu dan menemani atau lebih tepat membimbing, adalah sebuah perasaan yang sama-sama dirasakan guru berusia tua, bahkan yang ikut-ikutan merasa tua. 
Mengalami dan menjalani sebuah perubahan tidaklah perlu menunggu berusia tua, tidaklah perlu menunggu besok atau lusa. Semangat perubahan itu yang utama, selanjutnya mari berdoa agar kita bisa memulai dan menjalani dengan lancar. 


Senin, 25 Mei 2020

Pasca Lebaran



PASCA LEBARAN KALI INI




Di hari ke tiga bulan Syawal ini, aroma lebaran masih terasa. Tetapi aroma itu hanya muncul dalam setiap relung jiwa para pemenang sejati.

Bagaimana denganku? Aku berusaha menjadi pemenang meskipun tak tahu hasilnya.

Tiba-tiba suara anak-anak mengusik anganku.

Lagi-lagi dunia anak, dan lagi-lagi pula mereka menanyakan hari ini kita mau ngapain ?

mereka mungkin jenuh di rumah. ketika Ramadhan kemarin mereka mungkin menikmati berpuasa di rumah, lengkap dengan sederet kemalasan mereka.

Tapi setelah lebaran ini mereka masih saja bertanya, mau ngapain? Mengapa setelah lebaran masih harus di rumah lagi?

Mereka lupa bahwa mereka masih harus berada di zona aman, di rumah. Mereka lupa bahwa sejak kemarin mereka dirumahkan untuk melawan pandemi ini, memutus rantai penyebaran virus.

Sulit menjelaskan kepada mereka, bahkan mungkin akhirnya cenderung menakut-nakuti. Oh.. maafkan daku, Nak.

Minggu, 17 Mei 2020

berawal dari keterpaksaan

berawal dari keterpaksaan


semua yang terjadi pada diri kita adalah atas kuasa Ilahi
namun tentu tak lepas dari segala jerih payah kita,
sebagai bentuk ikhtiar menjalani hidup dan kehidupan

suatu zona nyaman 
mungkin akan diawali dari ketidaknyamananmaka tidaklah pas jika kita  terus-terusan 
berada di zona aman 
karena mungkin itu adalah 
awal dari suatu ketidaknyamanan

perlu ada benturan-benturan 
agar ke depannya kita bisa berada 
di wilayah zona yang lebih baik

bagaimana dengan sebagian yang lain ?